Sabtu, 16 Januari 2010

Jiwaku Sunyi

Dewi Malam Menghilang
Malam tak kunjung berakhir. Aku menatap dalam gelap. Sengaja kumatikan lampu kamar, berharap aku bisa segera terlelap. Tapi, mata ini tak jua terpejam. Malam yang hening. Kipas angin di sudut kamar berputar terus, tak pernah lelah. Tidak seperti hatiku yang mulai melemah. Mozart masih memainkan simphony-nya. Sepertinya ini yang terakhir.
Aku masih menatap dalam gelap. Sayup terdengar malam mulai menangis di luar sana. Menambah dingin. Kubiarkan kipas tetap berputar dengan kecepatan terkecil. Semakin dingin. Tapi yang pasti tak sedingin jiwaku malam ini.
Malam masih menangis. Untuk alasan apa, aku sendiri tak tahu. Mungkin dewi malam menghilang, hingga malam menangisinya. Rembulan dan bintangpun sepertinya berduka. Mereka tak tampak berbagi dengan makhluk bumi. Malam benar-benar kelam, namun tak sekelam batinku.
Kupejamkan mataku perlahan. Aku tak mau batinku ikut terisak. Ada luka disana, tapi takkan kubiarkan hujan membasahinya. Mataku masih terpejam, tapi mimpi belum mampu memelukku. Malam juga masih terisak. Kubiarkan jiwa dan raga ini tenggelam dalam heningnya malam. Hingga lelah dan kantuk datang menyerangku seiring dentang lonceng tiga kali sebuah jam dinding.


Embun Menyambut Pagiku
Kubuka mataku perlahan. Sayup kudengar adzan subuh berkumandang. Lantunan itu membawa kakiku melangkah untuk segera menghadap-Nya.
Semburat jingga di ufuk timur di balik jendela menghipnotisku untuk keluar dan memandang keagungan fajar lebih lekat. Aku tersenyum memandangnya. Inilah yang aku sukai dari setiap pagiku. Namun, apakah pagi inipun demikian? Entahlah…
Kuhempaskan tubuhku di sebuah bangku panjang yang ada di sana. Sekuntum anggrek bulan menyapaku. Embun-embun di pucuk dedaunan menyambutku, mengajak menikmati pagi ini.
Malam masih menyisakan basah. Tak kuhiraukan hawa dingin yang menembus kulitku. Aroma kelembutan pagi begitu terasa. Perlahan kuhela nafasku, mencoba melepaskan semua pedih yang merusak batinku.
“Kamu sudah bangun Ran?” tiba-tiba saja sosok seorang perempuan separuh baya yang tidak lain adalah ibuku sudah berdiri di sampingku. Ibu, meskipun rambutnya sudah beruban, namun gurat kecantikan khas perempuan Jawa masih tampak di sana. Beliaupun ikut duduk di sebelahku.
“Sudah dari tadi, Bu”, jawabku perlahan.
“Kamu tidak tidur semalaman?” tanya ibu lagi dengan nada khawatir.
“Tidur kok Bu, tapi cuma sebentar.” Kataku mencoba menenangkan.
Kemudian aku diam. Ibu juga. Aku tak mampu berkata apa-apa, bahkan di depan ibuku sendiri saat ini. Aku menikmati warna langit yang mulai berubah perlahan.
“Sudah to Ran. Nggak usah dipikirkan lagi.”
Aku hanya tersenyum menimpali ucapan ibu.
“Ibu ngerti gimana perasaanmu sekarang. Serahkan saja sama Yang Memberi Hidup.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku tanpa berkata sepatahpun. Sesuatu yang menggantung di pelupuk mataku tiba-tiba saja terjatuh. Aku mencoba mengusapnya, menyembunyikannya dari ibu. Tapi ibu tahu. Kurasakan tangan ibu menggenggam erat tanganku dan beliau kemudian merengkuhku. Kembali aku terisak dalam dekapannya.

Putih Nan Anggun
Aku memandangnya. Menatapnya lekat-lekat. Kubiarkan terkulai di tempat tidurku. Tak berani aku menyentuhnya, apalagi merengkuhnya. Aku masih menatapnya. Hanya ada satu pertanyaan dalam benakku. Kenapa? Ya, hanya itu yang ada di benakku.
Akhirnya kuputuskan untuk mengambilnya dan mendekapnya sejenak. Dan kemudian kugantungkan dalam lemariku. Harusnya aku memakai kebaya putih itu minggu depan. Tapi sekarang, memimpikannya pun aku tak mampu.

Bumi Tak Pernah Berhenti Berjalan
Kembali aku dihadapkan pada realita. Kembali pada hiruk pikuk dunia yang semakin menyesakkan. Kembali aku harus berkutat dengan kertas-kertas, menatap komputer berjam-jam, menjawab telepon yang masuk, dan segala rutinitasku.
Kembali aku harus berdiri, berjalan, dan berlari dengan kakiku sendiri. Menembus rintangan yang menghambat langkahku. Menerobos keriuhan yang semakin memekakkan telinga.
Aku tahu, berpasang-pasang mata menatapku dengan tatapan lain. Aku menyadari hal itu. Bahkan sampai aku tiba di ruangan kantorku. Tapi tak kuhiraukan tatapan aneh itu.
Aku baru saja duduk di kursiku, ketika tiba-tiba Aning, salah satu rekan kerjaku menghampiriku. “Ran, kamu baik-baik saja? Bukannya kamu cuti seminggu, ini kan baru tiga hari?”
“Aku baik-baik saja kok Ning. Bosan di rumah terus, nggak ada yang bisa kukerjakan”, kataku sambil tersenyum.
“Oo gitu, bagus deh kalau begitu.”
“Tapi beneran kan kamu baik-baik saja?” lanjut Aning.
Aku hanya tersenyum menjawabnya. Aku tahu Aning masih heran melihatku masuk kantor hari ini. Tapi kubiarkan semuanya berjalan apa adanya.

Menangis atau Menyanyikah Jiwaku?
Aku masih berkutat dengan hari-hariku. Bergelut melawan padatnya arus dunia. Aku mencoba menetralkan gerahnya hidup dengan senyuman.
“Ran..”, tiba-tiba saja Aning sudah berada di sebelahku.
“Kenapa Ning?” tanyaku.
Tampak Aning bingung untuk memulai suatu pembicaraan. “Ehm…” aku hanya bisa mengerutkan dahiku. “Kemarin Mas Yudha nanyain kamu”, lanjutnya. Yudha adalah kakak sepupu Aning yang kebetulan adalah teman dari kakak laki-lakiku satu-satunya.
“Lantas?” tanyaku masih tidak mengerti.
“Dia…dia nanyain kamu. Kabar kamu sekarang”, jawabnya.
“Lalu kamu jawab apa?”
“Ya aku jawab kamu baik-baik saja seperti yang aku lihat sekarang ini.”
Aku masih menunggu lanjutan dari Aning. “Terus dia…”
“Dia apa?” tanyaku.
“Dia tanya, apa dia masih punya kesempatan?” jawab Aning terbata.
“Maksudnya?”
“Rani, please…masa kamu nggak ngerti juga. Dia masih menunggu kamu. Dia masih seperti yang dulu.”
Kuhela nafasku sejenak, “Ning, kamu tahu aku kan? Aku nggak bisa”, jawabku singkat. Lalu kutinggalkan Aning sendirian di kantin bersama makanan yang baru kusentuh setengah. Dan Aning hanya bisa diam.
Sejak saat itu tak ada lagi pembicaraan tentang Yudha. Seperti tidak terjadi apa-apa antara aku dan Aning. Kami tetap seperti dulu. Dia tetap temanku yang paling menyenangkan. Yudha seakan menghilang dari pikiran kami.


Sampai ketika…

Ran, kamu bisa ke kantin sebentar? Aku tunggu.

Begitu bunyi pesan singkat yang masuk ke ponselku. Dari Yudha. Aku tidak menjawab pesan itu. Aku tidak tahu bagaimana caranya hingga kakiku membawaku ke tempat itu. Dan kemudian kedua mataku mulai mencari sesosok laki-laki yang menungguku, sampai ada tangan yang melambai ke arahku dan kakikupun kembali melangkah menuju laki-laki itu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa duduk di depan laki-laki bernama Yudha tersebut.

“Hai Ran. Apa kabar?”. Kalimat basa-basi pertama yang diucapkan Yudha.
“Baik. Mas Yudha sendiri gimana?”. Jawabku yang juga basa-basi.
“Baik”, jawabnya singkat.

Diam.

“Kok tumben Mas kesini? Nggak sibuk?”, tanyaku memecah kesunyian.
Dia tersenyum. Senyum yang menawan. Seperti sebuah fajar pagi yang menenangkan. “Lagi cuti.” Jawabnya singkat.
“Terus pasien-pasien Mas gimana?” tanyaku.
“Dokter juga manusia kan? Butuh istirahat juga. Lagian udah lama juga aku nggak ketemu kamu.”
Aku tersenyum. Dia tersenyum. Kembali diam.
“Ran…”, ucapnya perlahan.
Aku menunggu.
“Apa aku masih punya kesempatan untuk…”, dia tidak melanjutkannya.
“Maksud Mas apa?” tanyaku.
“Maukah kamu menikah denganku?”. Kalimat itu benar-benar jelas keluar dari mulutnya. Dan telingaku bahkan tak mampu untuk tidak mendengar. Aku bingung. Bumiku berputar. Gemuruh seakan memenuhi ruang batinku. Hatiku meracau tak jelas. Lidahku kelu. Tak mampu berucap bahkan sepatah katapun.
“Ran…” mas Yudha menyadarkan aku dari kegamanganku.
“Maafkan aku, Ran. Maaf kalau ini terkesan buru-buru. Tapi… aku benar-benar mencintaimu. Aku ingin hidup bersamamu.”
“Tapi Mas…” tiba-tiba saja ada kata-kata yang keluar dari mulutku.
Mas Yudha menunggu lanjutan dari ucapanku.
“Aku…mas…aku…” kataku meracau.
“Mas kan tahu aku tidak bisa.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga.
“Kenapa?”
“Mas kan tahu aku sudah punya Mas Bayu. Mas tahu itu kan?” kataku perlahan.
“Rani…sadar… Bayu itu sudah meninggal dua bulan yang lalu.”
Blassss……..